Informasi Dunia Cyber kami Sajikan Dengan Lugas dan Akurat
Sejarah IT Indonesia Perkembangan IT Indonesia Landasan hukum
Cyber Crime Cyber Law
Pengertian Piracy Hak Cipta dan Hukum yg melindunginya Contoh Kasus Piracy
Rabu, 03 April 2013 | 01.37 | 2 Comments

Hak Cipta dan Hukum yg Melindunginya




Hak cipta adalah hak khusus bagi pencipta maupun penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya maupun memberi izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak cipta adalah bagian dari sekumpulan hak yang dinamakan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) yang pengaturannya terdapat dalam ilmu hukum yang dinamakan Hukum HAKI. Yang dinamakan Hukum HAKI ini, meliputi suatu bidang hukum yang membidangi hak-hak yuridis dari karya-karya atau ciptaan-ciptaan hasil olah pikir manusia bertautan dengan kepentingan yang bersifat ekonomi dan moral.

Hak cipta tidak memberikan pemegang hak cipta atas komputer program hak monopoli terhadap bagaimana cara program tersebut bekerja, tetapi hukum hak cipta memberikan hak bagi pemegang hak cipta atas program komputer untuk melarang pihak lain yang meniru, menjiplak ekspresi dari instruksi atas program yang dapat diaplikasikan dalam perangkat komputer tersebut.

Penegakan Hukum atas Hak Cipta biasanya dilakukan oleh pemegangan Hak Cipta dalam Hukum Perdata, namun ada pula sisi hukum pidana yang sanksi pidananya secara dikenakan kepada aktivitas pemalsuan yang serius namun kini samakin lazim pada perkara-perkara lain. Sanksi pidana atas pelanggaran Hak Cipta di Indonesia sacara umum diancam dengan hukuman penjara paling singkat satu bulan dan paling lama tujuh tahun yang dapat disertai maupun tidak disertai denda sejumlah paling sedikit satu juta rupiah dan paling banyak lima milyar rupiah, sementara ciptaan atau barang yang merupakan hasil tindak pidana hak cipta serta alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana tersebut dirampas oleh Negara untuk dimusnahkan (UU 19/ 2002 bab XIII).

Dengan keluarnya Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002 (UU No. 10 tahun 2002) diharapkan pembajakan dapat diberantas. Namun setelah sekian bulan Back To natur lagi. Sebenarnya dengan adanya UU tersebut diharapkan pembajakan bisa ditanggulangi dan masyarakat bisa mulai mengerti. Pada saat itu dilakukan sosialisasi dengan mengadakan suatu acara mengenai publikasi UU No. 19 tahun 2002. Dari situ ternyata diketahui banyak masyarakat yang sudah mengerti Undang-Undang Hak Cipta. Kendati demikian pembajakan tetap saja berjalan. Kalau dilihat dan diamati dari tahun 80-an sampai sekarang bisa ditarik suatu garis besarnya. Pertama adalah masalah law enforcement, penegakan dan penanganan pelanggaran terhadap UU No. 8 tahun 1982 yaitu bahwa film tidak disensor saja tidak bisa ditangani. Itu membuktikan adanya komponen dalam penegakan hukum yang tidak berjalan dari kurun tahun 80-an sampai sekarang. Jadi sudah sekitar 20 tahunan masalah ini masih menjadi permasalahn saja sama seperti “Never Ending Story”. Dalam hal ini diragukan juga keseriusan pihak aparat dalam menangani pembajakan Hak Cipta.
Dengan adanya ancaman pidana diharapkan mampu untuk mendorong upaya penanggulangan tindak pidana dibidang HAKI khususnya Hak Cipta yang sedang marak-maraknya terjadi di Indonesia. Berkaitan dengan hal tersebut di dalam UU Hak Cipta menegaskan :
“Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu cipta atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau Hak terkait, sebagaimana, dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (liama ratus juta rupiah).

Dari ketentuan tersebut, maka dengan pembuktian yang cukup sederhana sebenarnya aparat penegak hukum sudah dapat melakukan tindakan terhadap praktek pembajakan, sehingga kerugian Negara yang diakibatkan oleh praktek pembajakan tersebut dapat dikurangi. Apabila hal tersebut juga dimaksudkan sebagai upaya untuk memberantas tindak pidana pembajakan nampaknya hal tidak akan berjalan efektif, praktek pembajakan yang merupakan pelanggaran terhadap UU Hak Cipta, sudah sepatutnya jika sanksi pidana yang dikenakannya didasarkan pula pada UU Hak Cipta.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta. Telah di ubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 yang di berlakukan pada tanggal 30 juli 2003. Perkembangan Undang-Undang tentang hak cipta berkaitan dengan isu penegakan (enforcement) yang tidak saja menjadi isu nasional, akan tetapi juga isu regional dan internasional.

Pengertian hak cipta terdapat pada pasal I ayat (2) UU No 19 tahun 2002 yang isinya:
Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas inspirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan fikiran, imajinasi kecepatan, keterampilan atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.

Pasal 1 ayat (3) mengatur tentang ciptaan, isinya :
Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra. Definisi atau Terminologi Hak Cipta, berbeda setiap Negara penandatanganan WIPO Copyright Treaty, namun sama dengan esensinya.

Keberadaan Undang-undang Hak Cipta memang di peruntukan khusus untuk melindungi hak bagi mereka yang telah menghasilkan karya-karya yang berasal dari pengungkapan (ekspresi) intelektualitas (intangible), dan bukannya yang bersifat kebendaan (tangible), apabila yang belum berwujud apa-apa seperti ide-ide informasi dan lain sebagainya.




Pengaturan Tentang Hak Cipta
Sejak zaman Belanda Hak Cipta di atur pada Auteurswet Tahun 1912 Stb. No. 600. aturan tentang hak cipta ini tampaknya sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan masyarakat serta cita-cita Hukum nasional, sehingga auterswet ini disebut. Untuk pertama kalinya setelah Indonesia merdeka hak cipta diatur pada Undang-Undang No. 6 Tahun 1982, yang diubah UUHC No. 7 tahun 1987, selanjutnya diubah kembali dengan UUHC No. 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta terakhir kali diundangkan UUHC No. 19 Tahun 2002, Undang-undang ini dikeluarkan unuk merealisasi amanah Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam rangka pembangunan dibidang hukum, dimaksudkan untuk mendorong dan melindungi pencipta dan hasil karya ciptaanya diharapkan penyebarluasan hasil kebudayaan dibidang karya ilmu seni dan sastra dapat dilindungi secara yuridis yang pada gilirannya dapat mempercepat proses pertumbuhan kecerdasan kehidupan bangsa.
  1. Pengaturan Hak Cipta Menurut Konvensi Internasional
Perhatian dunia internasional terhadap masalah hak cipta telah melahirkan beberapa konvensi internasional dibidang hak cipta. Sejak pertama kali disepakati pemberian perlindungan terhadap karya sastra dan karya seni dalam Berne Convention 1886, telah mengilhanai lahirnya beberapa konvensi susulan yang merupakan kesepakatan antar Negara dalam mengatur masalah hak cipta secara lebih spesifik, termasuk didalamnya pemberian perhatian terhadap karya cipta yang dihasilkan karena perkembangan teknologi, misalnya karya cipta dibidang Phornograms, Distribution programme carrying signals transmitted by satellite.
Beberapa kesepakatan antar Negara yang mengatur masalah hak cipta antara lain:
    • Bern Convention for the Protection of Uteraray 2nd Artistic Works 1886.
    • Universal Copyright Convention 1955.
    • Rome Canventian far tile Pratection of Perfomers, Producers of Phonograms and Broadcasting Organizations 1961.
    • WIPO Copyright Treaty (WC7) 1996.
    • WIPO Prformances and Phanograms Treaty (WPP7) 1996).
    • (Brussels Convention relaling to the Oisirioution of Programe carrying signals transmitted by satellite 1974.
    • Convention for tile Protection of Producers of Phonograms Against Unauthorized Duplication of Their Phonograms 1971.
    • Treah on the Internasional registration of Audiovisual Works (Film Register Treaty) 1991.
Selain itu, terdapat pula konvensi internasional yang mengatur juga masalah hak cipta sebagai bagian dari hak milik intelektual pada umumnya, yaitu :
    • Trips (Marakesh Agreement 15-04-1994).
    • OAPI (Bangui Agreement Revising Extracts 24-02-1999).
    • OAPI (Bangui Agreement 02-03-1977).
    • NAFTA (Intelectual Property Excerpts 08-12-1993).
Dari rangkaian kesepakatan bersama dibidang hak cipta maka Bern convention merupakan konvensi tertua yang mengatur masalah hak cipta. Konvensi bern di tandatangani di Bern, Ibu kota Swidzerland, pada tanggal 9 September 1886 oleh sepuluh Negara peserta asli (Belgium, France, Germany, Great Britain, Haiti, Italy, Liberia, Spain, Swidzerland, Tunisia) dan tujuh Negara yang mnjadi peserta dengan cara aksesi (Denmark, Japan, Luxemburg, Monaco, Montenegro, Norway, Sweden).
Dalam mukadimah naskah asli bern convention, para kepala Negara waktu itu menyatakan bahwa yang melatarbelakangi diadakannya konvensi ini adalah :
being equaily animated by the desire to protect, in as effective and uniform a manner as possible, the right of authors in their literary and artistic works.
Berdasarkan dasar pemikiran yang demikian ini. Ternyata Konvensi Bern semenjak ditandatangani sampai dengan 1 januari 1996 telah 117 negara yang meratifikasi. Belanda yang menjajah Indonesia pada 1 November 1912 juga memberlakukan keikutsertaannya pada konvensi bern berdasarkan asas konkondansi bagi Indonesia, dengan perkataan lain Indonesia semenjak tahun 1912 telah mempunyai UU Hak Cipta (Auteuresvlet 1912) berdasarkan UU Belanda tanggal 29 Juni 1911 (Staatbled Belanda Nomor 197) yang memberi wewenang pada ratu belanda untuk memberlakukan bagi Negara belanda sendiri dan Negara-negara jajahannya konvensi Bern 1886 berikut revisi yang dilakukan pada 13 November 1908 di Berlin. Namun demikian, semenjak 15 Maret 1958 indonesia menyatakan berhenti menjadi anggota Konvensi Bern berdasarkan surat No. 15.140 XII tanggal 15 Maret 1958. Menteri luar negeri Soebandrio waktu itu menyatakan pada Direktur Biro Berne Convention menyatakan tidak menjadi anggota the Convention. Dalam kurun waktu hampir 100 tahun keberadaan konvensi Bern, tercatat lima Negara anggota yang menyatakan berhenti menjadi anggota konvensi, yaitu: Haiti (1887-1943), Montenegro (1983-1900), Liberia (1908-1930), Indonesia (1913-1960), Syiria (1924-1962). Tiga puluh tujuh tahun kemudian, tepatnya 7 Mei 1997, Indonesia menyatakan ikut serta kembali menjadi anggota Konvensi Bern dengan melakukan ratifikasi dengan Keppres RI No. 16 Tahun 1997, hal ini sebagai konsekuensi keikutsertaan Indonesia dalam forum WTO, yang diartifikasi dengan UU No. 7 tahun 1994.
  1. Pengaturan Hak Cipta dalam Hukum Nasional
Sejak Indonesia menyatakan berdaulat penuh pada 17 Agustus 1945 diikuti dengan dibuatnya UUD 45 tanggal 18 Agustus maka berdasarkan Pasl II aturan peralihan UUD 45 maka semua peraturan perundangan peninggalan jaman kolonial Belanda tetap langsung berlaku sepanjang belum dibuat yang baru dan tidak bertentangan dengan UUD 45. Berdasarkan ketentuan tersebut maka khusus yang berkaitan dengan pengaturan hak cipta diberlakuakan Auteurswef 1912 peninggalan kolonial Belanda. Tiga puluh tahun kemudian, tepatnya tahun 1982 baru pemerintah RI dapat membuat UU hak cipta nasional yang dituangkan dalam UU No. 6 tahun 1982 tentang hak cipta ini banyak mengalami perubahan serta penambahan peraturan pelaksana, sebagai berikut :
    • UU No.6 tahun 1982 tentang Hak Cipta.
    • UU No.7 tahun 1987 tentang Perubahan UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta.
    • UU No.12 tahun 1997 tentang perubahan UU No. 6 tahun 1982 sebagaimana diubah dengan UU No. 7 tahun 1987 tentang Hak Cipta.
    • UU No.19 tahun 2002 tentang hak cipta yang menyatakan mencabut UU lama tentang Hak Cipta.
    • UU No.4 tahun 1990 tentang Wajib Serah Simpan Karya Cetak dan Karya rekam.
Selain diatur dalam UU maka sebagai kelengkapan pengaturan hak cipta juga diatur dalam beberapa peraturan pelaksanaan, yaitu:
    • PP No.14 tahun 1986 Jo PP No. 7 tahun 1989 tentang Dewan Hak Cipta.
    • PP No.1 tahun 1989 tentang penerjemahan dan perbanyakan ciptaan untuk kepentingan pendidikan, ilmu pengetahuan, penelitian dan pengembangan.
    • Keppres RI No.18 1997 tentang pengesahan Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic works.
    • Keppres RI No. 17 tahun 1988 tentang pengesahan persetujuan mengenai perlindungan Hukum secara timbal balik terhadap hak cipta atas rekaman suara antara RI dengan masyarakat Eropa.
    • Keppres RI No. 25 tahun 1989 tentang pengesahan persetujuan mengenai perlindungan Hukum secara timbal balik terhadap hak cipta antara RI dengan Amerika Serikat.
    • Keppres RI No. 38 tahun 1993 tentang pengesahan persetujuan Perlindungan Hukum secara timbal balik terhadap hak cipta antara RI dengan Australia.
    • Keppres RI No. 56 tahun 1994 tentang pengesahan persetujuan mengenai perlindungan terhadap Hak Cipta antara RI dengan Inggris.
    • Peraturan menteri kehakiman RI No. M.01-HC.03.01 tahun 1987 tentang pendaftaran ciptaan.
    • Keputusan menteri kehakiman RI No.M.04.PW 07.03 tahun 1988 tentang Penyidik hak cipta.
    • Surat edaran menteri kehakiman RI No. M.01.PW 07.03 tahun 1990 tentang kewenangan menyidik Tindak Pidana Hak Cipta.
    • Surat edaran menteri kehakiman RI No.M.02.I:C.03.01 tahun 1991 tentang kewajiban melampirkan NPWP dalam permohonan pendaftaran ciptaan dan pencatatan pemindahan hak cipta terdaftar.

2 komentar:

Unknown mengatakan...

thank's untuk postingannya

Anonim mengatakan...

Which sports to bet on at Bet365? Odds Comparison
Bet365 has got a special offer for punters who prefer sports to bet 토토 사이트 코드 on. Bet365, a great betting exchange, offers new customers a special

Posting Komentar

 
Copyright CyberNet.7 © 2010 - All right reserved - Using Blueceria Blogspot Theme
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.